Title Ad

Blog Ekonomi

Blog Ekonomi
Blog Ekonomi

Saturday, July 20, 2013

Bisnis Properti Indonesia Masih Aman dari Bubble

Pasar properti Indonesia, khususnya Jakarta, menjadi tujuan investasi yang menarik bagi investor asing karena tren pertumbuhan yang positif. Di sisi lain kekhawatiran terhadap efek bubble dalam pasar properti dalam negeri dinilai terlalu berlebihan.
Dalam presentasi yang disampaikan perusahaan konsultan properti, Jones Lang LaSalle menyatakan bahwa pasar properti di Indonesia masih aman dari 'bubble' atau penggelembungan harga yang dapat berujung kepada potensi krisis ekonomi.

Bisnis Properti Indonesia Masih Aman dari Bubble
"Pasar properti di Indonesia masih relatif aman dari dampak kemungkinan 'bubble'," kata Country Head Jones Lang LaSalle Indonesia, Todd Lauchlan, dalam acara "Quarterly Media Briefing" di Jakarta, Rabu.
Menurut Todd Lauchlan, situasi saat ini berbeda jauh dibanding dengan sebelum krisis tahun 1997-1998 ketika terjadi gejolak pasar keuangan dan valas yang menjadi pemicu krisis.
Krisis tersebut, lanjutnya, melebar tidak hanya kepada sektor perbankan tetapi juga berujung kepada kredit macet di berbagai sektor termasuk di properti.
Akan tetapi saat ini, ujar dia, kemungkinan terjadinya hal tersebut masih sangat kecil karena pertumbuhan ekonomi di Indonesia diyakini akan mendorong pertumbuhan penghasilan dan daya beli masyarakat.
Ia juga menyatakan keyakinannya bahwa perkembangan positif di berbagai sektor properti di Indonesia dalam beberapa tahun belakangan ini masih akan terus berlanjut dalam masa mendatang. Pertumbuhan ekonomi Indonesia masih tergolong kuat dalam kisaran 6% dan didukung stabilitas indikator makroekonomi membantu pasar properti tetap berada pada level positif.
Sementara itu, Kepala Riset Jones Lang LaSalle Indonesia, Anton Sitorus mendefinisikan "bubble" sebagai fenomena terjadinya kenaikan harga properti yang sangat signifikan yang melebihi pertumbuhan harga-harga lain di bidang ekonomi lainnya yang berpotensi untuk berujung kepada penurunan harga properti secara signifikan pula.
"Isu ini agak sensitif dan pasti banyak yang pro dan kontra," kata Anton Sitorus.
Ia berpendapat bahwa "bubble" memiliki dua aspek yaitu evaluasi pertumbuhan harga properti serta rasio utang properti yang menjadi penyebab utama terjadinya krisis pada tahun 1998.
Pada saat ini, ujar dia, rasio kredit properti terhadap kredit perbankan masih relatif rendah yaitu sampai akhir tahun 2012 hanya 13,6 persen, sedangkan rasio tertinggi pernah dicapai pada tahun 1995 yaitu sebesar 20 persen.
Selain itu, rasio kredit properti terhadap PDB Indonesia masih sangat kecil yaitu 4,5 persen pada akhir tahun 2012, jauh di bawah negara-negara lainnya seperti Thailand (15 persen), Amerika Serikat (22 persen), dan Malaysia (31 persen).

No comments:

Post a Comment